top of page
Search

“Kiss Cam yang Mematikan Trust …”

Kajian dari perspektif psikologi industri dan organisasi.

Lucia Trisni Widhianingtanti / APIO Jateng


Rabu malam, 16 Juli 2025, lampu panggung Gillette Stadium di Massachusetts berpendar lembut ketika Coldplay mengalunkan “Fix You.” Ribuan penonton hanyut, tetapi dalam 15 detik berikutnya perhatian dunia justru teralih ke sebuah insiden di layar raksasa Kiss Cam. Kamera menyorot Andy Byron-CEO Astronomer, sebuah start‑up teknologi yang baru saja mengantongi pendanaan Seri D US$93 juta, tampak memeluk mesra Chief People Officer‑nya, Kristin Cabot. Chris Martin, sang vokalis, melempar canda spontan, “Mereka selingkuh atau pemalu luar biasa?” Sontak stadion riuh, lalu seseorang merekam momen itu dan mengunggahnya ke TikTok. Rekaman ringkas tersebut menembus puluhan juta tayangan dalam hitungan jam, diikuti gelombang meme, penelusuran identitas, dan kecaman publik. Dua hari berselang, dewan direksi Astronomer menutup kolom komentar di seluruh kanal, menonaktifkan kedua eksekutif, dan mengumumkan investigasi resmi.


Meme dari kejadian ini sangat mendunia sehingga banyak yang membuat reka kejadian nya
Meme dari kejadian ini sangat mendunia sehingga banyak yang membuat reka kejadian nya

Di balik hiruk‑pikuk media sosial, realitas korporasi menyimpan konsekuensi jauh lebih pekat. Hubungan romantis tertutup antara pemimpin puncak dan bawahan langsung bukan sekadar urusan hati; ia menabrak etika fidusia, merusak keadilan organisasi, dan menumbuhkan benih sinisme budaya. Skandal ini menjadi laboratorium nyata bagi psikologi industri‑organisasi: bagaimana konflik peran, ketimpangan kuasa, dan erosi kepercayaan dapat berkonspirasi menghancurkan modal sosial sebuah perusahaan dalam sekejap.


Konflik peran (role conflict) adalah pintu pertama keruntuhan tersebut. Sebagai CEO, Byron memikul kewajiban fidusia yaitu melindungi kepentingan investor, memastikan tata kelola, dan menjaga reputasi perusahaan. Namun sebagai kekasih tersembunyi Cabot, ia memiliki kepentingan personal yang sering kali tak sejalan dengan objektivitas bisnis. Cabot sendiri memegang jabatan ganda: penjaga etika sumber daya manusia dan sebagai pasangan rahasia atasan tertinggi. Ketika garis profesional dan personal digandakan lalu dihapus, keduanya terperangkap dalam disonansi kognitif ketidaknyamanan batin akibat tindakan tidak selaras dengan peran. Mekanisme pertahanan lazimnya berupa rasionalisasi: “Hubungan ini tak memengaruhi pekerjaan.” Strategi klasik pengurang disonansi, persis sebagaimana dijelaskan Festinger dan Cooper & Fazio. Sayangnya, denyut viralitas media sosial memecahkan ilusi itu dan memperlihatkan kepada dunia realitas mereka yang rapuh. 


Disonansi yang tak terselesaikan bukan hanya membuat tidak nyaman pelaku; tetapi memantul ke seluruh struktur organisasi. Eksekutif lain terjebak dilema loyalitas: mendukung figur sentral atau memelihara kredibilitas pribadi. Manajer lini menunda keputusan strategis karena menunggu kejelasan status pimpinan, sedangkan karyawan lapangan mulai meragukan kejujuran nilai “integritas” yang terpajang di dinding kantor. Dalam teori perilaku organisasi, kekaburan arah moral di puncak adalah bibit ambiguity cascade: ketika standar tak jelas, setiap lapisan menafsirkannya sesuka hati, mempercepat kejatuhan kohesi.


Romansa atasan-bawahan sendiri sarat power disparity (Pierce & Snyder, 2022). Walau terlihat konsensual, perbedaan jabatan menabur bias: seberapa bebas sebenarnya bawahan berkata “tidak”? Rasa khawatir kehilangan akses, promosi, atau bahkan pekerjaan membayangi setiap keputusan. Rekan kerja pun mudah mencium aroma favoritisme setiap bonus atau proyek prestisius yang diterima Cabot akan selalu dicurigai sebagai buah kedekatan personal, bukan meritokrasi. Persepsi ketidakadilan inilah yang paling mematikan motivasi intrinsik (Colquitt, 2001), karena manusia bekerja bukan hanya demi upah, tetapi juga demi rasa diperlakukan adil.


Situasinya semakin kusut karena Cabot memimpin fungsi HR, kanal yang semestinya netral dalam menangani keluhan karyawan. Begitu HR dianggap perpanjangan tangan CEO, psychological safety keberanian untuk bersuara tanpa takut dibalas menjadi raib seketika. Riset Amy Edmondson (2018) menunjukkan, hilangnya rasa aman ini membuat karyawan menahan ide, enggan memberi umpan balik, dan pada akhirnya memangkas inovasi yang merupakan bahan bakar utama yang dibutuhkan start‑up untuk bertahan.


“Tone at the top” bukan jargon hampa. Perilaku pemimpin adalah mercusuar budaya. Social learning theory (Bandura) menegaskan kita cenderung meniru figur berkuasa. Ketika CEO memamerkan pelanggaran etika di panggung publik, pesan implisitnya sederhana: aturan dapat dinego asal posisi cukup tinggi. Hasilnya adalah spiral sinisme budaya “atasan selalu benar” Kerusakan paling mencolok justru tercetak di lapis budaya. Akibatnya budaya inovatif Astronomer terancam bergeser menjadi feodalisme halus, tempat loyalitas personal mengalahkan kinerja objektif. Dalam hitungan hari, organisasi biasanya mengalami tiga reaksi berantai: erosi kepercayaan pada seluruh pimpinan, maraknya gosip toksik yang menyedot energi produktif, dan bangkitnya moral disengagement misal rasionalisasi untuk turut melanggar aturan karena “bos saja begitu.”


Jalan Pemulihan: Transparansi, Keteladanan, dan Keadilan

Apakah krisis semacam ini bisa dipulihkan? Sejarah menegaskan: bisa, namun hanya melalui intervensi bertingkat dengan sasaran struktur, relasi, dan identitas budaya (Lewicki & Brinsfield, 2017). Astronomer sudah mengambil langkah awal dengan menerima pengunduran diri Byron, menonaktifkan Cabot, dan menjanjikan kebijakan romansa kantor yang eksplisit. Langkah cepat ini patut diapresiasi, tetapi pemulihan sejati menuntut penerapan tiga lapisan berikut secara serempak:

  1. Lapisan Struktural: Zero Tolerance & Checks and Balances

    1. Kebijakan nol‑toleransi atas romansa atasan-bawahan disahkan, disosialisasikan, dan ditegakkan tanpa kompromi.

    2. Kanal pelaporan independen: ombudsman eksternal atau hotline firma hukum dibuka agar karyawan yakin suaranya aman.

    3. Audit kompensasi dan promosi 24 bulan terakhir digelar untuk membongkar potensi nepotisme dan mengembalikan rasa adil.

2.     Lapisan Relasional: Membangun Ulang Kepercayaan Interpersonal

  1. Komunikasi transparan: dewan dan CEO interim menggelar town‑hall daring, menjawab pertanyaan langsung, bukan sekadar memo resmi.

  2. Pengakuan kesalahan tanpa defensif (owning, apologizing, remedying; Kim et al., 2006) disampaikan secara terbuka kepada seluruh pemangku kepentingan.

  3. Restorasi psychological safety lewat dialog dua arah yang dimoderasi pihak ketiga, plus simbol komitmen, misalnya CEO interim menandatangani Code of Ethics di hadapan publik

  1. Lapisan Identitas Budaya : Re‑anchoring Nilai Inti

    1. Narasi kolektif baru digulirkan: “Kami belajar, berubah, dan menolak pengulangan kesalahan.”

    2. Rekontekstualisasi nilai-nilai integritas dihidupkan dalam tujuan bisnis harian, bukan sekadar slogan.

    3. Program kepemimpinan etis berjenjang dipasang sebagai kurikulum wajib, menggantikan lokakarya satu‑hari yang bersifat simbolis.


Tanpa ketiga lapisan ini, investigasi internal hanya berfungsi sebagai damage control jangka pendek. Dengan menyatukan reformasi struktural, rekoneksi relasional, dan pembaruan identitas budaya, Astronomer berpeluang bukan sekadar menutup luka reputasi, tetapi juga membangun ketahanan etis yang membuat perusahaan lebih kuat daripada sebelum krisis.


Pelajaran Bagi Dunia Korporasi: Integritas sebagai Strategi Bisnis

Kisah Astronomer mengajarkan pelajaran keras bagi korporasi mana pun. Di era media sosial, reputasi perusahaan adalah aset volatil: satu momen pelanggaran dalam dalam detik dapat mengoyak kepercayaan yang ditenun bertahun‑tahun. Investasi terbesar bukan hanya pada inovasi produk, melainkan pada governance yang memastikan integritas menembus lini teratas. Pertama, konflik peran bukan urusan privat; begitu meledak di ruang publik digital, ia berubah menjadi risiko reputasi yang dapat memotong valuasi. Kedua, persetujuan dalam hierarki hampir tak pernah netral; kesenjangan kuasa menempatkan bawahan di wilayah abu‑abu, dan organisasi wajib menutupnya lewat kebijakan tegas. Ketiga, budaya dibangun bukan oleh poster nilai, melainkan teladan yang konsisten. Terakhir, integritas bukan biaya, melainkan investasi strategis, murah dibanding ongkos talent drain.


Penutup

Astronomer kini berdiri di dua persimpangan: terpuruk di bawah reruntuhan reputasi, atau bangkit menjadi contoh keberanian institusional menegakkan etika. Bila mereka menjalankan tata kelola baru secara disiplin, transparan, akuntabel, dan menempatkan kepercayaan publik di atas relasi personal, krisis ini justru berpeluang menjadi bukti kesungguhan mereka. Bagi komunitas HR dan kepemimpinan, kasus ini sudah resmi menjadi studi klasik: pengingat bahwa cinta kantor berbiaya mahal ketika bertubrukan dengan kekuasaan, dan bahwa integritas pemimpin tak pernah sekadar urusan pribadi, melainkan fondasi keberlangsungan sebuah ekosistem usaha.

Disclaimer: Artikel ini berisi opini personal penulis dan sepenuhnya merupakan tanggung jawab pribadi.

Referensi

  1. Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

  2. Bandura, A. (1991). Social cognitive theory of moral thought and action. In W. M. Kurtines & J. L. Gewirtz (Eds.), Handbook of Moral Behavior and Development (pp. 45–103). Hillsdale, NJ: Erlbaum.

  3. Colquitt, J. A. (2001). On the dimensionality of organizational justice: A construct validation of a measure. Journal of Applied Psychology, 86(3), 386‑400. https://doi.org/10.1037/0021‑9010.86.3.386

  4. Cooper, J., & Fazio, R. H. (1984). A new look at dissonance theory. Advances in Experimental Social Psychology, 17, 229‑266. https://doi.org/10.1016/S0065‑2601(08)60121‑5

  5. Edmondson, A. C. (2018). The Fearless Organization: Creating Psychological Safety in the Workplace for Learning, Innovation, and Growth. Hoboken, NJ: Wiley.

  6. Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford, CA: Stanford University Press.

  7. Gillespie, N., Dietz, G., & Lockey, S. (2014). Organizational reintegration and trust repair after an integrity violation: A case study approach. Business Ethics Quarterly, 24(3), 371‑410. https://doi.org/10.1017/beq.2014.6

  8. Kahn, R. L., Wolfe, D. M., Quinn, R. P., Snoek, J. D., & Rosenthal, R. A. (1964). Organizational Stress: Studies in Role Conflict and Ambiguity. New York: Wiley.

  9. Kim, P. H., Cooper, C. D., Dirks, K. T., & Ferrin, D. L. (2006). When more blame is better than less: The implications of internal versus external attributions for the repair of trust after a competence‑ versus integrity‑based trust violation. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 99(1), 49‑65. https://doi.org/10.1016/j.obhdp.2005.07.003

  10. Lewicki, R. J., & Brinsfield, C. T. (2017). Trust repair. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, 4, 287‑313. https://doi.org/10.1146/annurev‑orgpsych‑032516‑113147

  11. National Law Review. (2023). Office romance policies: At‑will love is not enough. National Law Review, 13 Nov. Retrieved from https://www.natlawreview.com

  12. Pierce, J. L., & Snyder, R. C. (2022). Power, favor exchange, and workplace romance. Journal of Organizational Behavior, 43(8), 1151‑1167. https://doi.org/10.1002/job.2577

  13. Treviño, L. K., & Nelson, K. A. (2024). Managing Business Ethics: Straight Talk About How to Do It Right (9th ed.). Hoboken, NJ: Wiley.

 

 

 
 
 

1 Comment

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Rated 5 out of 5 stars.

Keren mbak @trisni...

Like
Modern Glass Office Building

Address

Perkantoran Apartemen Cervino Villages Unit K Lantai 1
Jl. KH Abdullah Syafei No.27 3, RT.3/RW.1, Tebet Bar., Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12810

Contact

+62 813 8500 0799

©2025 by Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi

bottom of page